Minggu, 11 Oktober 2009

Melihat diri sejenak lebih dalam

Sejenak ku terawangi sudut kamarku yang sempit ini, asap rokok masih saja mengepul di sepertiga malam yang ku lewati sendiri ini, lagi. Aku melihat pada siapa kini aku bersandar, masih sama seperti pertama aku dilahirkan 23 tahun yang lalu, aku masih ditompang oleh mereka yang kini ku panggil ‘ayah’ dan ‘ibu’.

Begitu berartinya mereka dalam hidupku. Peluh, keluh, kesah, air mata, tawa, riang, canda dan derita. Merekalah yang terus mengamati metamorfosa ku menjadi ‘seseorang’. Sistem kehidupan yang berjalan terkadang tak bisa begitu saja aku terima, kadang aku berjibaku dengan idealis ku setelah gagasan demi gagasan masuk ke otak ku, membentuk aku menjadi diri ku atau merubah aku menjadi diriku yang lain.

Banyak yang aku telan begitu saja, terlalu banyak bahkan. Unsur-unsur duniawi yang aku terima terkadang membuat aku melayang begitu jauh dari tempat yang dinamakan ‘rumah’. Entah aku yang menyesatkan diri atau tersesat karenanya. Itu WAJAR terjadi pada setiap manusia ketika mendapati dirinya ingin lepas dari kukungan norma dan nilai. Ingin mencoba yang belum pernah disentuh sama sekali, ingin mengetahui betapa indahnya dunia nyata dan maya di luar sana. Hingga waktu kian bergerak terus, menggerus apapun yang ada di depannya, melahap dengan rakus setiap kesempatan yang ada hingga tiba pada 1 pertanyaan mendasar (itu pun jika aku menyadari pertanyaan itu) yaitu : ‘untuk apa aku hidup?’

Dari mulai ku hanya bisa menangis, melihat dunia untuk pertama kali, menginjakkan kaki, merangkak, berjalan, berlari, bersepeda, bersekolah, berteman, jatuh cinta, patah hati, sakit hati, tertawa, menangis, mencoba tak perduli, skeptis, apatis, mungkin juga sedikit autis, lalu apa lagi?

Begitu egoisnya aku yang selama ini menganggap bahwa ini duniaku, begitu naifnya aku yang melihat keberadaan orang lain hanyalah boneka di suatu panggung sandiwara yang dinamakan ‘kehidupan’. Penyesalan kah ini? Atau hanya sebuah pengakuan akan diri yang merasa berdosa, merasa membuang waktu selama 365 hari x 23 tahun= 201.480 jam aku bernafas? Bukan bro!!! Ini bukan apa-apa, tak berarti apa-apa jika hanya terus berjalan lurus tak berbelok, tak terjatuh, tak melayang, dan tak berbentuk. Jelas ini sebuah perjalanan pada satu titik pemberhentian. Awal adalah suatu konsep sesudah akhir, dan akhir adalah suatu awal. Terus saja berputar.

Aku memang tidak pernah meminta untuk berada di dunia ini, untuk hidup dengan penuh harapan dari orang-orang. Untuk menjadi ‘manusia’ yang orang-orang inginkan. Namun aku juga tidak mau untuk hanya menjadi sebuah individu yang terdiam merenung menghabiskan bercangkir-cangkir kopi memikirkan sesuatu yang di awali pertanyaan “apa ini sebenarnya?”. Aku harus bergerak, bukan tuk menemukan jawaban, bukan untuk melarikan diri. Aku ingin hidup dan menjawab semua harapan itu, karena aku bukan selalu menjadi manusia labil yang diliputi pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan yang bila tak terjawab malah jadi menghujat dan menggunjing atau bunuh diri (sakit nyaho bunuh diri teh, sieun da urang mah, jug weh maneh).
Memangnya ada yang aneh bila aku hidup dengan jalan hidup yang sudah ada sebelum aku hidup? Jalan hidup yang memiliki konsep baik dan buruk, mengasihi dan dikasihi, mencintai dan dicintai.

Pada akhirnya aku hanya ingin berterima kasih pada yang memberi aku nafas, memberi aku materi agar dapat survive, dan kelak akan ku balas meski tidak semua aku kembalikan, di iringi dengan ucapan ‘terima kasih’ aku berharap mereka puas dan bangga melihat hasil dari yang mereka ciptakan di dunia ini.
Terimakasih pada para manusia yang telah mengenalku.
Kita kan bertemu kembali di ladang penghabisan waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar