Selasa, 26 Oktober 2010

Doa Anak Indonesia

tuhan...
kemana sawah kami yang hijau?
kemana pantai kami yang berpasir putih?
kemana langit biru yang selalu memayungi kami?


tuhan...
meskipun kami bertanya terus padamu
tentang alasanmu mengirimkan banjir di ujung timur negeri kami,
tentang rencanamu pada gunung api di pusat negara kami,
tentang tujuanmu menyapu pesisir barat kami dengan tsunami,
engkau hanya diam, karena begitulah engkau...
selalu membuat kami merenungi takdir atas perbuatan kami.



tuhan...
kami tidak menyalahkanmu, namun kami belum kuat, tuhan...
ayah ibu kami hanyut entah kemana,
rumah kami hancur porak-poranda,
kelereng, karet gelang dan kain kami hilang,
kami kelaparan,
kami kedinginan,
pada siapa lagi kami harus meminta perlindungan jika semuanya telah terambil?



kami hanya ingin tersenyum, membagi senyum tipis mungil di bibir kami pada dunia.
agar dunia sedikit berwarna walau sudah kelabu akibat ulah manusia dewasa di sekitar kami.
mungkin senyum kami belum bisa melipur lara mu,
mungkin tawa kami terlalu kecil hingga engkau tak mendengar,
namun kami terus berdoa padamu...


tuhan...
jika sekali ini kau mendengar,
tolong kami tuhan... ampuni dosa bumi pertiwi kami,
ampuni dosa manusia-manusia yang mengeruk untung membabi buta di tanah kami.
karena hanya tanah air ini yang kami punya untuk kami hidup nanti...

tuhan... kami mencintaimu...

Rabu, 20 Oktober 2010

Sedikit Catatan Dari Suara Kelas Pekerja (oleh : Liony Tekstilafiandi)


Kota adalah tempat di mana segala kegiatan ekonomi makro dan mikro saling bersinggungan, kota adalah "mimpi" bagi sebagian orang-orang yang bermukim di pedesaan, kota adalah harapan untuk hidup baru. Apapun tersedia di kota. Sekolah yang bermutu, universitas bergengsi hingga kelas teri, fasilitas yang lengkap, arus informasi yang cepat, teknologi komunikasi dan elektronik yang mengalir tiada batas, mode, dan masih banyak angin surga lain yang ditawarkan oleh kota hingga terdengar begitu menarik bagi penduduk pedesaan. Lalu lalang kendaraan yang tiada henti melintasi jalan-jalan di perkotaan, cepatnya arus mobilitas manusia kesana kemari seakan tiada henti masuk dan keluar kota dari pagi hingga sore hari, setiap harinya semua peranan dalam masyarakat berjalan sesuai skenario kehidupan.

Hidup di kota adalah perjuangan hidup bagi masyarakat berbagai kelas. Namun taraf dan kualitas berat dan tidaknya berbeda sehingga menimbulkan kesenjangan yang cukup jauh antara berbagai kelas masyarakat. ini adalah penyakit perkotaan.

disaat di suatu sudut kota beberapa kelompok dengan menggunakan safari dan dasi duduk santai di dalam cafe ber-ac dan menikmati secangir kopi hangat dengan sepotong roti yg seharga dengan penghasilan kelompok masyarakat kelas bawah yang sedang duduk di trotoar tidak jauh dari cafe tersebut, mengais rezeki dari rasa iba orang2 yang lalu lalang di depannya, dikejar2 satpol PP untuk di giring ke panti-panti sosial dengan alasan "mengganggu pemandangan" ---> lantas itu sampah di pinggir jalan apa tidak mengganggu pemandangan pak?

seorang anak dengan tergontai melangkah di tiap perempatan lampu merah meminta uang receh pada mobil2 bermerk dunia, entah si anak ini benar kelaparan atau hanya mendapat perintah dari preman2 yang kerjaannya ongkang2 kaki menunggu setoran di warung kopi, namun yang jelas si anak kehilangan saat dan waktu nya untuk bermain dan sekolah. si anak hanya dianggap sebagai "pengganggu ketenangan saat macet" -----> apa pernah terpikirkan oleh kalian bahwa si anak ingin tersenyum bahagia? bukan bertelanjang kaki berjalan di aspal panas pada siang hari.

wanita-wanita muda yang ber-hah-hihi di berbagai sudut pertokoan demi mendandani diri mereka agar terlihat "cantik" di mata lelaki, membeli baju demi kata "mode", mendandani diri demi kata "trendi". sedangkan di sudut gelap sebelah timur kota, beberapa wanita muda pun mendandani diri demi pelanggan agar mereka bisa makan walau harus memodali diri agar cantik untuk bekerja esek-esek, dan lagi2 di anggap sebagai hal buruk berupa 'maksiat' oleh segelintir orang yang menamakan diri mereka suci ----> kalian suci karena bisa makan, bila sudah tidak ada pilihan untuk mendapatkan makanan, cara suci apa yang akan kalian pakai?

sementara di sudut2 pinggiran kota atau yang lebih dinamakan 'kota parasit' banyak sektor2 informal yang digerakan oleh masyarakat pekerja terus menerus menggeliat. sektor informal ini di yakini lebih dapat survive ketimbang sektor formal, seperti diantaranya buruh-buruh jahit harian, pedagang kaki lima, pedagang asongan, tukang bakso keliling, dll. mereka memenuhi kebutuhan2 subtantif masyarakat kota tanpa pernah di pandang dengan kedua mata. setiap hari bekerja dengan di labeli 'ketidakpastian penghasilan, namun masih bisa makan'. justru golongan ini yang sangat rentan terhadap kata kemiskinan. seperti halnya kelas masyarakat menengah, bagi saya pribadi, masyarakat kelas menengah adalah kelas yang paling menderita dalam hierarki masyarakat perkotaan. karena dengan penghasilan mereka yang sebenernya 'biasa2 saja' atau 'cukup' namun tetap masih digoda oleh kebutuhan-kebutuhan sekunder yang dgn mudah dpt dimiliki masyarakat kelas atas. seperti misalnya kebutuhan barang mewah, mode, fashion, dll yang dimana masyarakat kelas menengah selalu mencoba berbagai cara untuk mendapatkannya. dan cara yang sering dipakai adalah cara "mengutang". ini lah penyakit masyarakat menengah, demi sebuah gengsi dianggap mampu, demi sebuah pandangan agar statusnya lebih tinggi, mereka korbankan beberapa cara yang secara tidak langsung mereka tidak sadar bahwa jerat-jerat kapitalis membanyangi dan mengerayangi mereka hingga titik nadir terakhir.

saya teringat akan hasil wawancara penelitian saya dengan seorang buruh jahit konveksi yang dengan bijak menyikapi cara hidup masyarakat kota. ia berkata :
"orang pikir hidup di kota itu bahagia, padahal kebahagiaan di kota itu palsu, mereka membeli barang-barang untuk kenyamanan dan kebahagiaan mereka, mereka membeli jasa untuk kenyamanan mereka sendiri, yah.... mereka membeli kebahagiaan mereka sendiri dengan uang."

menyikapi perkataan jujur sang buruh, saya pun kadang berefleksi diri... benar adanya kata si buruh, walau ia melihat dari kacamata survival life namun, itu renungan bagi masyarakat kota yang mengejar kebahagiaan, yang mempertahankan hidup dengan membeli zona kenyamanan.
Kota, hingga kapan pun akan tetap menjadi tujuan mimpi-mimpi bagi manusia pedesaan yang menganggap hidupnya di pedesaan adalah "kurang maju". hanya ada dua pertaruhan besar dalam hidup di kota. "berhasil dengan kebahagiaan palsu, atau hidup miskin tapi dengan senyum tulus" ujar si buruh menutup wawancara saya dengannya.

salam damai.

Jumat, 15 Oktober 2010

ajal si bunga




hanya dengan ditompang batang kecil,
melahap mentari di tiap pagi dan meminum si hujan di tiap mendung,
si bunga mencoba tuk sedikit mekar.
walau racun karbondioksida terus mengarat di pucuk daun hijaunya,
walau dia semakin terinjak oleh manusia-manusia kota di sekitarnya,
si bunga mencoba tuk berdiri tegar.

mengingat dirinya ketika masih berupa kuncup,
begitu ringkih dan rapuh... seperti bara api yg memutih akan menjadi abu,
yg walau dengan bertahan di tiup angin, masih ingin menghangatkan senja.
mengingat dirinya ketika sedang mekar,
begitu berwarna dan kontras dengan sekitarnya... seperti kelakar di tengah pemakaman,
yang begitu berbeda, walau dunia berkata harus sama.



aaahhh... kini si bunga mulai layu,
digilas waktu karena sombong atas tanah yg menompang akarnya,
dicerca polusi hingga tak lagi berwarna-warni,

si bunga mulai kuyu,
ditinggalkan daun yg sudah berguguran katanya,
dibiarkan menjadi saksi pembangunan dan cultural shock keluhnya,

si bunga perlahan sayu,
"aku tak ingin begini" ujarnya pada asap dan sampah-sampah manusia kota,
"kebahagiaan di perkotaan itu palsu, manusia yg membeli kebahagiaan" pikirnya.

menjelang ajal, si bunga masih mengutuk dalam sisa-sisa wanginya.
mencoba memberi pesan pada siapapun yg mendengarnya.
"aku hanya ingin memberi warna cantik di dunia yg busuk ini, tuhan..."

*obrolan dengan bunga kecil di lereng bukit.

Jumat, 08 Oktober 2010

Catatan seorang kawan


Kepada yang tumbang, meretas memori, menjajaki kini, melupakan masa depan.

Banyak pintu berdiri di depanku, entah akan kubuka atau hanya menjadi tembok yang kukencingi.

Kekesalan akan buntunya panduan dalam berjalan, persetan, aku tak dapat memaksa diriku menjadi ini atau itu.

Saat ini, waktu yang mengejar, yang membuat beku, meruntuhkan gairah imaji dan melumuri hasrat dengan air raksa.

Memilih jalan, apakah aku bepergian terlalu jauh, atau memang yang kupijak ini tak akan pernah bisa memberiku ruang untuk melihat segalanya memang seolah tanpa batas?

Tanpa batas atau berbatas, apa yang kujajaki memang tak akan pernah bisa memberiku kepastian bahwa ada batas akhir?

Karena setiap yang kujajaki akan selalu memberiku ruang bernama batas,

Karena setiap yang kusentuh tak akan bisa kurangkul hingga aku bersetubuh,

Karena setiap yang ketemui akan selalu memberiku banyak sekali pilihan diantara yang ada dan ketidakmungkinan untuk membuangnya begitu saja.

Karena setiap yang berhadapan denganku akan berkata bahwa “segalanya memang seperti ini”

Karena setiap kenyataan yang kutemui selalu enggan untuk berpaling kepada apa yang paling nyata,

Karena setiap yang kucium selalu tak berhasrat untuk bunuh diri,

Karena aku tahu bahwa yang kekal adalah perubahan,

Karena masa lalu hanyalah tumpukan buku2 usang dan baru dalam lemari perpustakaan besar ini,

Karena masa depan memang sesuatu yang kosong dan aku tak ingin berharap darinya,

tapi kini ku memiliki dia,

dan saat ini, dia adalah satu-satunya yang kupunya,

Karena bukan apa pun dan siapa pun yang menggenggamku selain diriku dan dirinya.

ah kamu,,, si ajaib...

Dunia tak lebih dari sekeranjang Ilusi, merajukmu untuk mengecap pucuk kilaunya. Matikan lampu, pendam segala suara, nanti kau akan temui dirimu yang mengacuh akan warna ; hitam dan putih.

Yang tiada akan kembali pada tiada... itu saja...


Selasa, 05 Oktober 2010

Aku Percaya


Aku percaya pada suatu ketika
kamu akan menjadi bentuk nyata
seperti air yg dibekukan dinginnya udara

Aku percaya pada suatu ketika
pipimu kan lagi merona
bukan karena malu, tapi karena cinta

Aku percaya pada suatu ketika
tak ada lagi tanya bergema
yg ada hanyalah hangat dan tawa

Aku percaya pada suatu ketika
akan terpilih satu diantara dua
dan ku tak ingin terjadi lagi karma

hingga si "suatu ketika" itu datang,
aku pun percaya pada apa yg kau ucap,
apa yg kau beri, dan apa yg kau rasa
adalah utuh darimu...

maka... aku percaya padamu hei wanita

5/10/10
21:05

Sabtu, 02 Oktober 2010

aku ingin


aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya debu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

in fucked situation

Lagi lagi dan lagi...
tersesat lagi oleh si asa, jatuh dalam lubang yang sama.
ini sudah berulang lagi, terhimpit lagi dan teriris lagi.
ANJING!!!
harus sampai kapan aku meracau kacau?
tak bisakah aku menepi pada akhir yang biasa?

aku tetap berdiri dengan luka,
akibat pisau yg tersembunyi di balik jubahnya.
ini jiwa meronta,
meminta secerca cahaya padamu.
sadari diriku jika terlalu tinggi melayang,
karena ketika kau jatuhkan, ini terlalu sakit.
Cukup!!!
aku tak mau terendam lagi pada sari-sari gandum!!!

tolong sejenak kau sadari, aku sudah lelah dengan ini.
meski senyumku tetap merekah, bukan berarti ku tak marah.
suatu ketika nanti, kau akan mengerti.
alasan mengapa kau harus lebih cepat mengambil kepastian.