Rabu, 20 Oktober 2010

Sedikit Catatan Dari Suara Kelas Pekerja (oleh : Liony Tekstilafiandi)


Kota adalah tempat di mana segala kegiatan ekonomi makro dan mikro saling bersinggungan, kota adalah "mimpi" bagi sebagian orang-orang yang bermukim di pedesaan, kota adalah harapan untuk hidup baru. Apapun tersedia di kota. Sekolah yang bermutu, universitas bergengsi hingga kelas teri, fasilitas yang lengkap, arus informasi yang cepat, teknologi komunikasi dan elektronik yang mengalir tiada batas, mode, dan masih banyak angin surga lain yang ditawarkan oleh kota hingga terdengar begitu menarik bagi penduduk pedesaan. Lalu lalang kendaraan yang tiada henti melintasi jalan-jalan di perkotaan, cepatnya arus mobilitas manusia kesana kemari seakan tiada henti masuk dan keluar kota dari pagi hingga sore hari, setiap harinya semua peranan dalam masyarakat berjalan sesuai skenario kehidupan.

Hidup di kota adalah perjuangan hidup bagi masyarakat berbagai kelas. Namun taraf dan kualitas berat dan tidaknya berbeda sehingga menimbulkan kesenjangan yang cukup jauh antara berbagai kelas masyarakat. ini adalah penyakit perkotaan.

disaat di suatu sudut kota beberapa kelompok dengan menggunakan safari dan dasi duduk santai di dalam cafe ber-ac dan menikmati secangir kopi hangat dengan sepotong roti yg seharga dengan penghasilan kelompok masyarakat kelas bawah yang sedang duduk di trotoar tidak jauh dari cafe tersebut, mengais rezeki dari rasa iba orang2 yang lalu lalang di depannya, dikejar2 satpol PP untuk di giring ke panti-panti sosial dengan alasan "mengganggu pemandangan" ---> lantas itu sampah di pinggir jalan apa tidak mengganggu pemandangan pak?

seorang anak dengan tergontai melangkah di tiap perempatan lampu merah meminta uang receh pada mobil2 bermerk dunia, entah si anak ini benar kelaparan atau hanya mendapat perintah dari preman2 yang kerjaannya ongkang2 kaki menunggu setoran di warung kopi, namun yang jelas si anak kehilangan saat dan waktu nya untuk bermain dan sekolah. si anak hanya dianggap sebagai "pengganggu ketenangan saat macet" -----> apa pernah terpikirkan oleh kalian bahwa si anak ingin tersenyum bahagia? bukan bertelanjang kaki berjalan di aspal panas pada siang hari.

wanita-wanita muda yang ber-hah-hihi di berbagai sudut pertokoan demi mendandani diri mereka agar terlihat "cantik" di mata lelaki, membeli baju demi kata "mode", mendandani diri demi kata "trendi". sedangkan di sudut gelap sebelah timur kota, beberapa wanita muda pun mendandani diri demi pelanggan agar mereka bisa makan walau harus memodali diri agar cantik untuk bekerja esek-esek, dan lagi2 di anggap sebagai hal buruk berupa 'maksiat' oleh segelintir orang yang menamakan diri mereka suci ----> kalian suci karena bisa makan, bila sudah tidak ada pilihan untuk mendapatkan makanan, cara suci apa yang akan kalian pakai?

sementara di sudut2 pinggiran kota atau yang lebih dinamakan 'kota parasit' banyak sektor2 informal yang digerakan oleh masyarakat pekerja terus menerus menggeliat. sektor informal ini di yakini lebih dapat survive ketimbang sektor formal, seperti diantaranya buruh-buruh jahit harian, pedagang kaki lima, pedagang asongan, tukang bakso keliling, dll. mereka memenuhi kebutuhan2 subtantif masyarakat kota tanpa pernah di pandang dengan kedua mata. setiap hari bekerja dengan di labeli 'ketidakpastian penghasilan, namun masih bisa makan'. justru golongan ini yang sangat rentan terhadap kata kemiskinan. seperti halnya kelas masyarakat menengah, bagi saya pribadi, masyarakat kelas menengah adalah kelas yang paling menderita dalam hierarki masyarakat perkotaan. karena dengan penghasilan mereka yang sebenernya 'biasa2 saja' atau 'cukup' namun tetap masih digoda oleh kebutuhan-kebutuhan sekunder yang dgn mudah dpt dimiliki masyarakat kelas atas. seperti misalnya kebutuhan barang mewah, mode, fashion, dll yang dimana masyarakat kelas menengah selalu mencoba berbagai cara untuk mendapatkannya. dan cara yang sering dipakai adalah cara "mengutang". ini lah penyakit masyarakat menengah, demi sebuah gengsi dianggap mampu, demi sebuah pandangan agar statusnya lebih tinggi, mereka korbankan beberapa cara yang secara tidak langsung mereka tidak sadar bahwa jerat-jerat kapitalis membanyangi dan mengerayangi mereka hingga titik nadir terakhir.

saya teringat akan hasil wawancara penelitian saya dengan seorang buruh jahit konveksi yang dengan bijak menyikapi cara hidup masyarakat kota. ia berkata :
"orang pikir hidup di kota itu bahagia, padahal kebahagiaan di kota itu palsu, mereka membeli barang-barang untuk kenyamanan dan kebahagiaan mereka, mereka membeli jasa untuk kenyamanan mereka sendiri, yah.... mereka membeli kebahagiaan mereka sendiri dengan uang."

menyikapi perkataan jujur sang buruh, saya pun kadang berefleksi diri... benar adanya kata si buruh, walau ia melihat dari kacamata survival life namun, itu renungan bagi masyarakat kota yang mengejar kebahagiaan, yang mempertahankan hidup dengan membeli zona kenyamanan.
Kota, hingga kapan pun akan tetap menjadi tujuan mimpi-mimpi bagi manusia pedesaan yang menganggap hidupnya di pedesaan adalah "kurang maju". hanya ada dua pertaruhan besar dalam hidup di kota. "berhasil dengan kebahagiaan palsu, atau hidup miskin tapi dengan senyum tulus" ujar si buruh menutup wawancara saya dengannya.

salam damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar